Belajar Memahami Ocehan “Melantur” Yuhadi dari Prespektif Akademisi

Mei 25, 2018 | [post-views]
images-2

Awalnya saya berpikir tentang apa yang saya sampaikan di ruang publik terkait dana kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur 2019 – 2024 merupakan sebuah diskurss jelang berakhirnya masa kampanye dan memasuki pencoblosan tanggal 27 Juni 2018, tidak punya interest apa-apa.

Dan itu pun komentar hasil dari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh pekerja media. Selebihnya tidak ada….

Pernyataan saya, berangkat Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota.

Di regulasi tersebut menyebutkan Dana Kampanye merupakan sejumlah biaya berupa uang, barang dan jasa yang digunakan Pasangan Calon dan/atau Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan Pasangan Calon untuk membiayai kegiatan Kampanye Pemilihan.

Ruang lingkup dana kampanye mulai dari Sumber, Bentuk dan Pembatasan Pembiayaan Kampanye.

Untuk diketahui prinsip pengaturan dana kampanye merupakan legal, akuntabel, dan transparan. Dan bertujuan supaya Pasangan Calon dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye.

Dan publik punya hak untuk mengetahui.

Lalu dalam 49 ayat (1) PKPU No 8 Tahun 2015, menyebutkan bahwa Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan Pasangan Calon perseorangan dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk Kampanye yang berasal dari:

Negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing;Penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya;Pemerintah dan Pemerintah Daerah; danBadan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau sebutan lain.

Terkait sanksi dalam Pasal 56 ayat (1) menegaskan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dikenai sanksi berupa pembatalan Pasangan Calon yang diusulkan.

Lalu dimananya saya berpendapat penuh asumsi dan tidak yuridis.

Dari hal tersebut apakah saya keliru, meminta kepada penyelenggara dalam hal ini KPU Lampung melakukan audit, innvestigasi, dana kampanye para paslon, terutama paslon tiga, karena saya mencermati bahwa hanya satu paslon yang secara massif melakukan kampanye keseluruh kabupaten/kota dengan menghadirkan da’I kondang, artis, dan band ternama di Indonesia.

Apakah saya keliru atas ungkapan itu ?

Memahami tudingan dari berbagai banyak berita yang muncul dimedia social, ada beberapa hal yang saya rangkum dan perlu diklarafikasi sebagai bentuk tudingan yang emosional dan tendensius.

Pertanyaan pertama terkait apakah hari ini saya berteman dengan Sdr MRF yang notabene sebagai calon petahana urut satu?

Jawabannya saya bukan jurkam, Tenaga Ahli atau apapun. Sampai hari ini saya baru sekali bertemu dengan MRF itupun di acara formal yaitu pemantapan Pengurus PSI Lampung di salah satu hotel di Bandar Lampung. Selebihnya belum pernah.

Bila butuh pembuktian silahkan tanyakan langsung. Namun sebagai manusia kita adalah saudara, tidak melihat apakah itu teman apa tidak, semua manusia di mata Tuhan itu sama, lalu kenapa kita membatasi antara teman dan bukan teman.

Aneh sekali….

Pertanyaan kedua saya tidak menjaga indepedensi, patut diketahui salah satu sikap indepedensi yang saya lakukan adalah membatasi diri untuk tidak terikat dengan kontrak kerja dan kontrak politik terhadap kepala daerah, politisi dan kelompok kepentingan, sehingga dalam berucap, bertindak, bekerja secara professional, bebas unsur dan tidak memihak siapapun.

Atas hal itu saya sangat menjaga kridibilitas diri saya.

Pertanyaan ketiga, kenapa saya dianggap nyinyir terkait kehadiran Purwanti Lee. Anggapan ini sangat tendensius dan penuh dengan kemarahan, entah apa yang hendak disampaikan.

Saya hanya mengingatkan dan menekankan bahwa demokrasi yang sedang kita bangun bukan murahan tapi sangat mahal, untuk itu mari kita jaga dan kita bangun demokrasi ini hanya dari untuk dan oleh rakyat dari campur tangan siapapun apalagi campur tangan cukong dan kacung politik.

Pertanyaan keempat, tentang ungkapan bahwa saya adalah oknum akademisi, saya cukup balas dengan senyuman saja….karena saya cukup dekat dengan beliau.

Saya cuma membandingkan saja, saya sebagai pengajar dikampusyang sehari-hari menekuni bidang ilmu ketatanegaraan saja dituding begitu, bagaimana jika yang menyampaikan itu masyarakat, team pendukung dan seterusnya.

Mungkin lebih berattt….

Mengingat kata para bengawan di kisah lakon dulu yang kerap dibaca. “Bila omongan kaum terpelajar saja sudah tidak didengar lalu omongan siapa yang hendak didengar. Apa ucapan politisi yang patut??” Bisa hancur semuanya…..

Terakhir…

Ungkapan saya terkait audit dana kampanye pasangan calon, harusnya disikapi secara sederhana. Mari para politisi tunjukkan kualitas melalui sikap terbuka atas kritikan, kridebel dan bertanggungjawab.

Tidak perlu disambut dengan perdebatan di ruang publik, apalagi menggunakan kata tudingan.

Sungguh sangat tidak elok. Ibaratnya.., biarkan doa bergelombang ke atas langit, Tuhan tahu benar mana yang didahulukan mana yang ditunda.

Trimakash…. (*)

Yusdiyanto

Dosen Fakultas Hukum Unila

Posted in
Tags in