Bandar Lampung – Gubernur Lampung Arinal Djunaidi melakukan terobosan dengan hilirisasi produk kakao dan ubi kayu guna memperkuat Provinsi Lampung sebagai lokomotif pertanian nasional.
Hal tersebut disampaikan Gubernur Arinal Djunaidi dalam acara Coffee Morning bertemakan Peningkatan Produktivitas dan Hilirisasi Kakao dan Ubi Kayu, di Bank Indonesia (BI) Perwakilan Lampung, Bandarlampung, Rabu (19/2/2020).
“Untuk komoditas ubi kayu, Provinsi Lampung merupakan daerah dengan total produksi ubi kayu terbesar nasional. Sedangkan untuk Kakao, Provinsi Lampung merupakan penghasil Kakao terbesar ke 4 (empat) Nasional,” jelas Gubernur.
Menurut Gubernur, Provinsi Lampung dikenal dengan beberapa komoditas unggulan karena kontribusinya dalam pemenuhan kebutuhan nasional dan ekspor, terutama kakao dan ubi kayu.
Acara coffee morning ini merupakan bentuk komitmen Gubernur bersama stakeholder terkait untuk memajukan pertanian dan menjadikan Provinsi Lampung sebagai lokomotif pembangunan pertanian nasional.
Juga, menjalin sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan petani untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengembangan Sektor Pertanian.
“Menteri Pertanian menyampaikan bahwa Lampung akan menjadi lokomotif di bidang pertanian secara Nasional. Bukan hanya dalam kebijakan untuk memudahkan produksi dan investasi, tetapi yang paling penting juga hilirisasi aspek pasarnya,” kata Gubernur.
Untuk itu, melalui agenda coffee morning ini Gubernur berharap dapat dilakukan penyamaan persepsi seluruh stakeholder atas permasalahan dan alternatif solusi pengembangan komoditi kakao dan ubi kayu, serta memberikan saran masukan dalam penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah untuk peningkatan produktivitas dan pengembangan hilirisasi produk.
“Peningkatan produktivitas diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani kakao dan ubi kayu, serta pengembangan hilirisasi produk juga diharapkan dapat memberikan nilai tambah kepada petani dan masyarakat secara luas,” tambah Gubernur.
Kegiatan coffee morning ini juga diharapkan dapat dilaksanakan secara rutin, sehingga tercipta sinergitas antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan Petani.
“Kita akan menginisiasi dan memfasilitasi pertemuan ini karena membangun Lampung harus dilakukan bersama-sama antara Pemerintah, Dunia Usaha, Petani, termasuk para ilmuan didalamnya,” ujar Arinal.
Dalam kesempatan itu, mewakili Dekan Fakultas Pertanian Unila Kuswanta menjelaskan bahwa Lampung merupakan penghasil ubi kayu dunia. Namun, produksi ubi kayu Lampung secara genetik mampu menghasilkan lebih dari 25 ton per hektare “Secara genetik ubi kayu kita mampu memproduksi lebih dari 25 ton per hektar. Untuk itu kita harus mengupayakan bagaimana tanaman ubi kayu kita dapat seperti yang diharapkan,” jelas Kuswanta.
Menurut Kuswanta, salah satu yang menjadi permasalahan kurangnya hasil produktivitas ubi kayu petani adalah terkait pengaturan waktu tanam, dan kurangnya sinergitas dengan para pengusaha, sehingga kurang sesuainya kapasitas pabrik dengan hasil produktivitas. “Untuk mengatasi ini maka diperlukan regulasi antara petani dan pengusaha,” jelasnya.
Sementara itu, petani ubi kayu dari Kabupaten Tulang Bawang Lauri menjelaskan bahwa dirinya bersama petani hanya mengetahui bagaimana menghasilkan ubi kayu dengan maksimal, dengan melakukan pengolahan lahan, dan penggunaan pupuk. Selama ini hanya mampu menghasilkan 25 ton per hektare.
“Kami hanya mengupayakan itu, belum mampu memaksimalkan hasil ubi kayu dengan maksimal. Untuk itu, kami para petani berharap adanya pembinaan dari dinas terkait dan para pengusaha, sehingga kami mampu memaksimalkan produktivitas, dan mendapatkan harga jual yang tinggi,” jelas Lauri.
Sedangkan Riswanto, petani kakao dan Pendiri Pusat Pelatihan Pertanian Swadaya (P4S) di desa Banjar Agung, Kecamatan. Sekampung Udik, Lampung Timur, menjelaskan bahwa peran Pemerintah sangat besar dalam pengembangan kakao. Di antaranya melalui program intensifikasi, reabilitas, dan reflanting. Namun yang menjadi kelemahan ketika Pemerintah mendorong penyaluran bibit yang kurang tepat pada saat musim tanam.
“Secara umum, umur kakao di Lampung juga sudah tua yaitu di atas 20 tahun, sehingga tidak mungkin bisa mempertahankan kondisi karena produktivitas yang menurun,” kata Riswanto.
Penurunan produktivitas ini, lanjut Riswanto, juga disebabkan tingginya hama penyakit, alih fungsi lahan, dan minat petani muda untuk bertani kakao.
Untuk itu, menurutnya, diperlukan dukungan Pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kakao, termasuk pengembangan sumber daya manusianya. (ADPIM)