Memupuk Nasionalisme di Dada Generasi Milenial

November 4, 2018 | [post-views]
IMG-20181104-WA0001

Bandar Lampung – Mengerikan. Disadari atau tidak. Derasnya arus moderenisasi perlahan nan pasti mengikis rasa nasionalisme di dada kaum milenial.

Namun hal tersebut tak berlaku bagi sekelompok pemuda yang bernaung dalam wadah Kelompok Studi Kader (Klasika). Dimotori sejumlah aktivis, Klasika konsisten menyuarakan pentingnya memupuk rasa nasionalisme untuk menjaga keutuhan bangsa.

Sabtu malam (3/11/2018), Klasika kembali menggelar diskusi kebangsaan dengan tema “Kaum Muda dan Kebangsaan yang Kian Hilang Makna”. Diskusi yang dimoderatori Redaktur Politik Lampung Post Eka Setiawan tersebut menghadirkan sejumlah nara sumber yang berkompeten di bidangnya masing-masing, yakni Dr. Rudi, SH., LL.M, Budayawan Alexander GB dan Chepry C Hutabarat. Keadaan generasi muda jaman sekarang yang lupa makna nasionalisme menjadi poko bahasan dalam diskusi tersebut.

Dalam sambutannya Penanggung Jawab Program Kerja Klasika Een Riansah menjelaskan, diskusi dimaksudkan untuk mengingat, memaknai, dan menjaga spirit perjuangan dari sumpah pemuda. Terlebih di era modern hari ini, dimana setiap manusia hidup dalam hutan rimba citraan.

“Sekarang banyak generasi muda yang terjebak dalam dunia pencitraan. Mereka menganggap melalui sekelumit kata-kata heroisme yang diposting pada media sosial misalnya instagram atau facebook, sudah cukup meresapi makna perjuangan para pemuda terdahulu.Hal itu tentu akan membiaskan makna dari perjuangan yang sesungguhnya,” tegas Een.

Ditempat yang sama, Dr. Rudi mengajak seluruh peserta diskusi untuk waspada terhadap gerakan-gerakan keagamaan yang cenderung ingin merubah idiologi bangsa. Menurutnya saat ini banyak kajian keagamaan di banyak universitas tidak lagi menunjukan identitas nasionalisme.

“Banyak pergerakan keagamaan yang mencoba menanamkan idiologi dan budaya untuk mengaburkan rasa nasionalisme di hati para generasi milenial. Mulai dari cara berpakaian hingga cara berinteraksi. Efeknya, dalam survei yang saya lakukan pada mahasiswa saya, banyak mahasiswa yang tidak tahu tentang sejarah pergerakan nasional,” ujar ketua PW Lakpesdam NU Lampung ini.

Dr. Rudy menambahkan, generasi muda wajib memahami sejarah pergerakan bangsa. Sejatinya para pejuang dan ulama telah sepakat dan final bahwa bentuk negara kita adalah negara kesatuan dengan sistem pemerintahan demokrasi. Bukan khilafah, kerajaan atau bentuk negara lainnya.

“Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari telah mengajarkan pada kita Khubul Watan Minal Iman (Cinta tanah air sebagian dari iman). Artinya, mencintai negara Indonesia ini adalah salah satu bentuk keimanan,” katanya.

Kemudian Alexander GB juga menambahkan ada pergeseran budaya yang dialami oleh anak muda dari era 1928 dulu hingga sekarang era milenial. Anak muda sekarang terlalu disibukan dengan simbol-simbol hingga melunturkan rasa nasionalisme.

“Kondisi sekarang ini terjadi karena kurangnya ruang-ruang untuk segmen nasionalisme, mulai dari media hingga kampus-kampus itu tidak ada ruang untuk berbicara hal tersebut dan menjaga kesehatan nalar,” ujar pegiat teater itu dalan materinya.

Founder KLASIKA Chepry C Hutabarat dalam materinya menjelaskan, anak muda sekarang sangat disibukan dengan dirinya sendiri yang bersifat lahiriah. Hal tersebutlah yang akhirnya melupakan nasionalisme yang berada dalam aspek batiniah.

“Kita harus terus melakukan kritik pada diri kita masing-masing terhadap hal-hal yang sifatnya positivistik termasuk keributan sekarang di media sosial hingga lembaga pendidikan,” pinta Bang C sapaan akrabnya.

Ketiga pemateri tersebut mengajak para peserta diskusi untuk merefleksikan kembali nasionalisme. Selain kita sibuk dengan jargon-jargon dan simbol-simbol, kita harus tetap merawat dan mempertajam nalar kritis.

Diskusi dilaksanakan di halaman rumah ideologi klasika, Jl. Sentot Alibasa, Gg Pembangung E/A5, Sukarame, Bandar Lampung. Peserta diskusi terdiri dari beberapa organisasi kepemudaan di Bandar Lampung. (lan)

Tags in